Berfikir Filsafat

 

Berfikir Filsafat

  1. Pemikiran filsafat bersifat Konseptual yaitu berpikir dalam filsafat tidak hanya sekedar berpikir, tapi mempunyai konsep yaitu secara umum. Konsepsi (rencana kerja) merupaakan hasil peng-umum-an dan abstraksi dari pengalaman tentang berbagai hal dan proses individual. Filsafat merupakan pemikiran tentang hal dan proses dalam hubungan yang umum. Seorang filsuf tidak hanya membicarakan dunianya sendiri ataupun dunia sekitarnya, melainkan juga mengenai perbuatan berpikir itu sendiri. Dengan ciri ini maka berpikir kefilsafatan melampaui batas-batas pengalaman hidup sehari-hari.
  2. Pemikiran filsafat bersifat Radikal yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya. Yaitu berpikir sampai ke akarnya, sampai hakikat, esensi, substansi, inti yang dipikirkan, dan berusaha menangkap pengetahuan hakiki yang mendasar tersebut.
  3. Pemikiran filsafat bersifat Universal yaitu berpikir tentang hal-hal yang bersifat umum. Berpikir tentang hal dan proses yang bersifat umum. Filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu dan menyatakannya dalam bentuk paling umum. Filsafat berkaitan dengan pengalaman umum manusia.
  4. Bersifat sistematik. Sistem adalah kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai suatu maksud atau menunaikan suatu peranan tertentu. Pendapat uraian kefilsafatan harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud atau tujuan tertentu.
  5. Bersifat komprehensif, Tidak ada sesuatupun yang berada di luar jangkauannya (menyeluruh). Jika tidak, filsafat akan ditolak, dikatakan berat sebelah dan tidak memadai, serta baru dapat dikatakan memadai bila memuat penjelasan tentang semua gejala.
  6. Pemikiran filsafat bersifat Integral (menyeluruh) yaitu pemikiran yang luas, pemikiran yang meliputi beberapa sudut pandang. Pemikiran kefilsafatan meliputi beberapa cabang ilmu dan pemikiran semacam ini ingin mengetahui hubungan antara cabang ilmu yang satu dengan yang lainnya. Integralitas pemikiran kefilsafatan juga memikirkan hubungan ilmu dengan moral, seni, dan pandangan hidup.
  7. Pemikiran filsafat bersifat Sistematik yaitu saling urut, berhubungan dan berkaitan antara satu dengan yang lainnya; hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran-pemikiran selanjutnya dan hasil pemikirannya selalu dimasukkan sebagai medan garapan (objek) yang baru pula. Keadaan ini senantiasa bertambah dan berkembang. Meskipun demikian bukan berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah selesai seperti ilmu-ilmu di luar filsafat. Filsafat berusaha memahami segenap kenyataan dengan jalan menyusun suatu pandangan dunia yang memberikan keterangan tentang dunia dan semua yang ada di dalamnya. Contoh : Teori atom.
  8. Pemikiran filsafat bersifat Bebas dan bertanggung jawab yaitu meskipun bebas dari apapun, pemikiran dalam filsafat harus bisa dipertanggung jawabkan. Yaitu bebas dari prasangka sosial, histories, kultural ataupun religius namun tetap disiplin dan tidak sembarangan, seperti halnya Socrates yang meminum racun demi mempertahankan kebebasan berpikirnya.
  9. Pemikiran filsafat bersifat Fundamental (mendasar) yaitu pemikiran mendalam sampai kepada hasil yang fundamental (keluar dari gejala) hasil pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar berpijak segenap nilai dan masalah keilmuan.
  10. Segala sesuatu pasti dimintai pertanggungjawaban, dan pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Ada hubungan antara kebebasan berpikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya. Pertanggungjawaban pemikiran filsafat juga dikaitkan dengan sisi eksternal, bagaimana pengkomunikasian rumusan hasil pemikiran itu sampai pada orang lain dengan tetap mengindahkan kecintaan terhadap kebenaran di atas segala-galanya.
  11. Filsafat berusaha menyusun bagan konsepsional yang bersifat rasional, yaitu setiap bagian dan bahannya ditetapkan dengan baik serta menarik kesimpulan tersebut secara logis karena filsafat tidak dimulai dari pengertian yang dapat diterima akal seperti ilmu ukur.
  12. Pemikiran filsafat bersifat Koheren berarti sesuai dengan kaidah berpikir (logis) dan Konsisten yaitu tidak berubah-ubah dan tidak berlawanan sehingga tidak ada yang kontradiksi di dalamnya. Jadi berpikir filsafat harus runtut. Bagan konseptual dari berbagai pendapat ini tidak boleh berkontradiksi. Berikut ini adalah contoh ketidakruntutan yang mungkin tersembunyi dalam pernyataan-pernyataan yang tidak tampak:
    1. Tuhan maha baik, tidak menginginkan keburukan
    2. Tuhan maha kuasa pencipta segala yang ada

Bila pada kenyataan bahwa keburukan itu ada, maka berarti Tuhan menciptakan keburukan. Tetapi karena Tuhan maha kuasa, maka Ia menciptakan apa yang ingin diciptakanNya. Berarti bahwa Ia terpaksa berbuat berlawanan dengan kehendakNya. Dan ini tidak mungkin, karena Tuhan Maha Kuasa, sehingga terjadi kontradiksi:

      1. Tuhan tidak menginginkan keburukan
  • Tuhan menginginkan keburukan.

Team Work tri pusat pendidikan dalam meningkat kualitas kehidupan

Team Work tri pusat pendidikan dalam meningkat kualitas kehidupan.

Tulisan ini dimuat karena ada keprihatinan angka drop out pada pendidikan dasar dan sekolah menengah semakin hari semakin tinggi, tentu ini harus disikapi bersama oleh kita bersama baik oleh maysarakat, lembaga keluarga, maupun sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dan dinas pendidikan sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap suksesnya penyelenggaraan pendidikan.Keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan tripusat pendidikan yang harus bekerjasama untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dimana  sekolah merupakan agen perubahan, yang harus mampu mempercepat meningkat kualitas kehidupan masyarakat melalui proses pembelajaran, sementara keluarga sebagai pendidik pertama dan utama harus bertanggung jawab terhadap kehidupan generasi selanjutnya, sedangkan masyarakat luas bertanggung jawab membantu bagaimana agar nilai, moral, yang positif bisa ditumbuh kembangkan melalui keidupan bermasarakat. Kalau ketiga pusat pendidikan ini bisa berjalan bersama insya Allah kualitas pendidikan semakin lama akan semakin menuju kearah yang lebih baik

Istilah “Team” merujuk kepada suatu kelompok yang bekerja sama untuk mencapai suatu misi atau tujuan tertentu. Team memiliki bentuk, misi, dan durasi yang beragam. Karolyn J. Snyder and Robert H. Anderson (1986) mengidentifikasi dua tipe team, yaitu team permanen dan team sementara. Team permanen mengkhususkan dalam fungsi tertentu yang dilakukan secara berkelanjutan. Sedangkan, team sementara merupakan team yang diorganisasikan hanya untuk kepentingan dan tujuan jangka pendek yang kemudian dapat dibubarkan kembali, setelah pekerjaan selesai. Biasanya bertugas menangani proyek yang bersifat sementara.

Dengan mengutip pemikiran Cunningham and Gresso, Oswald (1996) mengemukakan dua faktor esensial dalam suatu team yang dapat semakin memantapkan budaya team (culture team), yaitu: bonding (ikatan) dan cohesiveness (kesatupaduan). Bonding akan memastikan bahwa anggota team memiliki komitmen yang kuat, misalnya terhadap waktu, pengetahuan, keterampilan dan energi untuk mencapai tujuan team. Team yang terikat akan lebih enthusias, loyal kepada organisasi dan team itu sendiri. Para anggota dapat memulai proses pengikatan ini pada saat pertemuan (rapat) pertama kali, mereka menentukan tujuan, peran, dan tanggunggjawab individu dan kelompok. Cohesiveness (kesatupaduan) didefinsikan oleh Cunningham dan Gresso sebagai rasa kebersamaan dalam kelompok, yang ditandai oleh adanya rasa memiliki dan keterkaitan diantara sesama anggota. Sebagai contoh bagaimana kerjasama dibangun antara dewan pendidikan Kota, komite pendidikan, dan sekolah untuk bekerjasama mensukseskan agar setiap warganegara Indonesia usia sekolah secara keseluruhan memperoleh pendidikan dasar minimal 9 tahun sebagai kewajiban dan hak.

Langkah awal untuk membentuk sebuah team yang baik adalah setiap anggota terlebih dahulu harus memahami tujuan dan misi team secara jelas. Setiap anggota seharusnya mampu menjawab pertanyaan “ Mengapa saya berada disini”, demikian dikemukakan oleh Margot Helphand (1994). Berikutnya, menentukan peran dan tanggung jawab masing-masing anggota. Dalam hal ini, Yadi Heryadi mengemukakan beberapa peran penting dalam suatu Team :

  1. Pencatat yaitu anggota Team yang bertugas mendokumentasikan semua kegiatan yang dilakukan oleh Team, termasuk mencatat hal-hal penting hasil rapat-rapat, serta membuat notulen rapat-rapat. Tentu saja bukan sekedar mencatat tetapi bagaimana catatan itu direalisasikan oleh team.
  2. Pencatat Waktu yaitu anggota Team yang bertugas mengingatkan Team berjalan sesuai jadwal.
  3. Penjaga Gawang yaitu anggota Team yang bertugas menyemangati anggota Team yang lain sehingga terjadi keseimbangan partisipasi seluruh anggota, dan
  4. Devil’s advocate yaitu anggota Team yang pandangannya berbeda dengan pandangan anggota Team yang lain, sehingga isu isu yang ada dilihat dari berbagai sisi.

Dalam sebuah team work perlu adanya seorang ketua atau pemimpin yang bertugas untuk mengendalikan seluruh kegiatan team, baik dalam perencanaan, pengimplementasian, maupun penilaian. Ketua bisa dipilih oleh anggota atau ditunjuk oleh pihak yang memiliki kewenangan.

Yadi Haryadi mengetengahkan tentang ciri-ciri ketua dan anggota team yang baik.

Ciri-ciri ketua team yang baik adalah:

  • Bekerja sesuai konsensus
  • Berbagi secara terbuka dan secara otentik dalam hal perasaan, opini, pendapat, pemikiran, dan persepsi seluruh anggota Team terhadap masalah dan kondisi
  • Memberi kesempatan anggota dalam proses pengambilan keputusan
  • Memberi kepercayaan penuh dan dukungan yang nyata terhadap anggota Team
  • Mengakui masalah yang terjadi sebagai tanggung jawabnya keteam bang menyalahkan orang lain
  • Pada waktu mendengarkan pendapat orang lain, berupaya untuk mendengar dan menginterpretasikan pendapat orang dari sudut pandang yang lain
  • Berupaya mempengaruhi anggota dengan cara mengikutsertakan mereka dalam berbagai isu

Sedangkan ciri-ciri anggota team yang baik adalah:

  • Memberi semangat pada anggota Team yang lain untuk berfkembang
  • Respek dan toleran terhadap pendapat berbeda dari orang lain
  • Mengakui dan bekerja melalui konflik secara terbuka
  • Memperteam bangkan dan menggunakan ide dan saran dari orang lain
  • Membuka diri terhadap masukan (feedback) atas perilaku dirinya
  • Mengerti dan bertekad memenuhi tujuan dari Team
  • Tidak memposisikan diri dalam posisi menang atau kalah terhadap anggota Team yang lain dalam melakukan kegiatan
  • Memiliki kemampuan untuk mengerti apa yang terjadi dalam Team

Larry Lozette mengemukakan tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan team, yaitu : (1) anggota tidak memahami tujuan dan misi team, (2) anggota tidak memahami peran dan tanggung jawab yang dipikulnya, (3) anggota tidak memahami bagaimana mengerjakan tugas atau bagaimana bekerja sebagai bagian dari suatu team, (4) anggota menolak peran dan tanggung jawabnya.

Penerapan konsep Team Work dalam pendidikan, khususnya di sekolah akan muncul dalam berbagai bentuk. Snyder and Anderson, menyebutkan bahwa team work di sekolah, dapat berbentuk team manajemen (management team) yang akan membantu kepala sekolah dalam pengambilan keputusan atau memecahkan masalah-masalah yang muncul di sekolah. Atau mungkin muncul dalam bentuk team khusus, yang mengerjakan tugas-tugas khusus pula, seperti: team pengembang kurikulum, team bimbingan dan konseling dan sebagainya, yang intinya team-team tersebut dibentuk untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan pendidikan di sekolah.

Selain itu penerapan konsep team work dalam pendidikan dapat digunakan kepentingkan peningkatan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru, misalnya melalui kegiatan Penelitian Tindakan Kelas, Lesson Study, atau supervisi.

Konsep team work telah diadopsi pula sebagai bagian dari strategi pembelajaran, yang dikenal dengan sebutan Collaborative Teamwork Learning, yaitu suatu model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk untuk mengembangkan kemampuan siswa bekerja secara kolaboratif dalam Team.

Terdapat beberapa alasan pentingnya penerapan konsep team work di sekolah diantaranya : (1) dengan berusaha melibatkan setiap orang dalam proses pengambilan keputusan, maka diharapkan setiap orang akan dapat lebih bertanggung jawab dalam mengimplementasikan setiap keputusan yang diambil, (2) setiap orang dapat saling belajar tentang berbagai pemikiran inovatif dari orang lain secara terus menerus, (3) informasi dan tindakan akan lebih baik jika datang dari sebuah kelompok dengan sumber dan keterampilan yang beragam, (4) memungkinkan terjadinya peningkatan karena setiap kesalahan yang terjadi akan dapat diketahui dan dikoreksi, dan (5) adanya keberanian mengambil resiko karena adanya kekuatan kolektif dari kelompok. Kegiatan yang dilakukan oleh guru di sekolah tentu saja harus mendapat dukungan dari berbagai pihak, kemudian dikembangkan untuk kepentingan pendidikan itu sendiri, karena pendidikan tentusaja akan membawa dampak pengiring yang luar biasa terhadap kehhidupan masyarakat.


Mutu Pendidikan Kita Rendah, yang salah siapa

Bangsa Indonesia telahmengenyam kemerdekaan selama 65 tahun. sebuah perjalanan panjang bangsa ini, menapaki hari hari yang penuh harapan. Membangun kejayaan bangsa yang makin lama makin redup seiring perubahan yang terjadi. Kita hidup dalam dunia yang penuh perubahan. Jika kita kita mampu mengelola perubahan itu menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi kita maka dengan sendirinya kita akan tergilas didalam perubahan itu. Perubahan terjadi dimana mana, termasuk dalam dunia pendidikan kita. Dewasa ini Sumber Daya Manusia dituntut mampu berkompetisi dalam dalam dunia global. Membangun sumber daya manusia berkualitas tentu merupakan suatu tantangan tersendiri.
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia diperhadapkan dengan sangat terpuruk nya mutu pendidikan, walaupun tidak dapat kita pungkiri dilain sisi terdapat beberapa anak bangsa berhasil mencetak prestasi yang membanggakan bagi kita semua. Tentunya kita tidak dapat berpuas diri dengan hanya mengandalkan beberapa orang saja dari sekian ratus juta jiwa anak bangsa yang hidup di republik ini dalam mencetak berbagai prestasi berkaliber dunia.
Di  Indonesia mutu pendidikan kita masih  sangat rendah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil ujian nasional yang sangat terpuruk dan merosot. Masing-masing orang mulai mencari kambing hitam. Berbagai kesalahan ditimpakan kepada Guru yang tidak cakap mengajar, Siswa yang kurang belajar, Orang tua yang tidak bisa mendidik, lembaga pendidikan yang tidak mampu mengelola sebuah konsep pendidikan yang bermutu, bahkan pemerintah yang dinilai kurang cermat dalam menyusun kurikulum.
Siapa Kambing Hitam? Membuat kita seakan perlu merefleksikan diri untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada dan bukannya kecenderungan untuk saling mempersalahkan juga muncul ditengah tengah kita seperti pandangan para pengamat beberapa waktu lalu antara lain; di tingkat bawah tidak bermutu  untuk mengejar mutu pendidikan, tidak hanya menjadi tanggung jawab guru di lembaga pendidikan, tetapi harus didukung kuat oleh orangtua di rumah serta komponen pendidikan lainnya. “Bermutu tidaknya pendidikan seorang siswa itu pertama terletak di tangan para orangtua, karena anak lebih banyak didampingi orangtua. Sedangkan guru dan komponen lainnya hanya beberapa saat saja. Pandangan lain yang mencuat adalah berasal pengamat pendidikan, berpendapat bahwa Pengelola lembaga pendidikan diharapkan jangan mendidik peserta didik hanya sekadar untuk mendapatkan izajah atau kelulusan saja. Tetapi harus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, agar output yang dihasilkan mampu bersaing di tengah masyarakat, oleh karena itu kurikulum berbasis kopetensi harus betul betul menghasilkan output yang punya life skill, karena life skill inilah yang akan mampu memperbaiki dan meningkat kehidupan seseorang.

Mutu Pendidikan

Kesadaran akan pentingnya mutu pendidikan sungguh merupakan tantangan yang tidak ringan. Jikalau kita baru berpikir bahwa kita harus berubah, sesungguhnya kita sudah terlambat untuk itu. Oleh karenanya permasalahan ini harus segera diatasi. Mutu pendidikan yang terpuruk di negeri ini harus kita tekan. Setiap lembaga pendidikan yang ada di republik ini memiliki tanggung jawab besar terhadap mutu pendidikan yang dimulai dari proses pendidikan itu sendiri dan berakhir pada hasil pendidikan yang dicapai.
Berbicara mengenai mutu pendidikan sebenarnya kita membicarakan tentang dua sisi yang sangat penting yaitu proses dan hasil. Mutu dalam “proses pendidikan” melibatkan berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru) sarana prasarana lembaga pendidikan, dukungan administrasi, berbagai sumber daya dan upaya penciptaan suasana yang fair dan nyaman untuk belajar. Mutu dalam konteks “hasil pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh lembaga pendidikan pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester/cawu, akhir tahun, 3 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum dan ujian nasional). Dapat pula berupa prestasi di bidang lain seperti cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi lembaga pendidikan dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keramahtamahan, keakraban, saling menghormati, kebersihan, toleransi, dsb. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan satu sama lainnya, akan tetapi agar proses pendidikan dapat bermutu dan tepat sasaran, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh Lembaga Pendidikan. Lembaga Pendidikan wajib menetapkan target yang jelas untuk dicapai setiap tahun atau kurun waktu tertentu. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab lembaga pendidikan dalam memperbaiki mutu pendidikan bukan hanya pada proses pendidikan saja, melainkan lebih dari pada itu adalah pada hasil yang dicapai.
Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh lembaga pendidikan ‘ terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau “kognitif” dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya : NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap lembaga pendidikan baik yang berdasarkan titik acuan standar (benchmarking) maupun kegiatan ekstra-kurikuler dilakukan oleh individu lembaga pendidikan sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya.

Lembaga Pendidikan Unggulan

Lembaga pendidikan unggulan itu sesungguhnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga lembaga pendidikan, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan atau owner lembaga pendidikan saja melainkan melibatkan seluruh komponen didalamnnya. Berbagai komponen dalam lembaga pendidikan yang ikut bertanggung jawab dan terlibat dalam proses pendidikan antara lain kepala lembaga pendidikan, wakil kepala lembaga pendidikan, guru, konsultan ahli dan staf lainnya sehingga akan menciptakan iklim lembaga pendidikan yang mempu membentuk keunggulan lembaga pendidikan. Diperlukan adanya synergy dengan berbagai pihak antara lain lembaga pendidikan, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing – masing ini. Pengelola sebuah lembaga pendidikan harus mampu memahami konsep penting pendidikan yang diluncurkan oleh pemerintah sehingga mampu menjawab tuntutan publik akan pendidikan bermutu.
Didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana kita hidup dalam dunia yang penuh dengan perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini bahwa kita perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang agar kita tidak tergilas didalamnya. Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa lembaga pendidikan harus dikelola secara profesional sehingga mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan. Institusi pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia dan menjawab harapan bangsa.
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis lembaga pendidikan ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu sedangkan tanggung jawab individu lembaga pendidikan dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus menyempurnakan dirinya sehingga berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan). Peningkatan mutu siswa di Indonesia tentu mengacu pada KTSP berorientasi standar pendidikan nasional sebab tanpa standar sulit rasanya putra daerah bisa menmbus pendidkan berkualitas di kota kota besar.

Stategi Peningkatan Mutu Pendidikan

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada setiap lembaga pendidikan di Indonesia, maka diperlukan partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan lembaga pendidikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan antara lain:
Lembaga Pendidikan perlu membentuk sebuah unit kerja yang bertugas melakukan penyusunan basis data dan profil lembaga pendidikan secara sistimatis yang menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan. Hal ini memudahkan bagi guru dan kepala lembaga pendidikan sehingga mereka hanya fokus pada KBM sedangkan urusan administrasi menjadi tugas dan tanggungjawab daripada Unit Informasi dan Pengendalian Mutu. Masalahnya sekarang adalah kebanyakan diberbagai lembaga pendidikan telah ada staf administrasi namun dalam jumlah yang terbatas sehingga memaksa guru dan kepala lembaga pendidikan terpaksa turun tangan menangani masalah administrasi dan keuangan. Yang lebih parah lagi adalah para kepala sekolah terlihat sangat sibuk dengan urusan administrasi dan keuangan sehingga kurang melakukan supervisi terhadap guru. Unit kerja seperti Pusat Informasi dan pengendalian Mutu bertugas melakukan evaluasi internal (internal assesment) dalam sebuah lembaga pendidikan untuk menganalisa sumber daya lembaga pendidikan, kinerja personil lembaga pendidikan dalam kerangka mengembangkan dan mencapai target kurikulum. Semua proses ini harus dipantau secara teratur dan berkesinambungan sehingga akan terasa hasilnya. Informasi yang terangkum dengan sistematis tersebut selanjutnya diteruskan pihak lembaga pendidikan sehingga dapat memahami secara jelas pada posisi mana derajat kualitas pendidikan sebuah lembaga pendidikannya berada saat ini. Para konsultan menyajikan data secara terperinci sehingga para pengambil kebijakan dilingkungan lembaga pendidikan dapat mengambil keputusan penting yang menyangkut pembangunan konsep pendidikan dan arah rencana pendidikan kedepan yang akan dicapai.
Lembaga pendidikan perlu memperhatikan secara seksama proses pendidikan sebab ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan. Sebuah lembaga pendidikan itu sifatnya dinamis dan berirama alias tidak statis oleh karenanya tidak bisa disamakan dengan institusi ekonomi dan industri. Selama ini pembangunan pendidikan kita hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan sedangkan faktor proses pendidikan kadang terabaikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka lembaga pendidikan harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan.
Kebanyakan guru-guru pada setiap lembaga pendidikan mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi hanya mengejar target untuk menyelesaikan muatan materi pembelajaran yang sangat padat itu dalam setahun. Upaya mengejar materi pelajaran ini memang sah-sah saja namun demikian kenyataan yang kita hadapi adalah kebanyakan peserta didik kesulitan dalam mengerjakan ujian akhir nasional, akibatnya prosentasi kelulusan rendah sehingga yang oleh banyak pengamat dikatakan sebagai rendahnya mutu pendidikan.
Setiap lembaga pendidikan harus memiliki otonomi dan kewenangan untuk mengevaluasi sejauhmana kemampuan yang dimiliki peserta didik. Kewenangan tegas untuk tidak membiarkan (let go) peserta didik yang tidak sanggup mengikuti pelajaran dikelas berikutnya perlu diterapkan sehingga siswa yang berada pada level berikutnya adalah benar-benar seorang peserta didik yang sanggup untuk mencerna pengetahuan dan mengakses informasi. Kegagalan sekolah selama ini adalah menaikkan peserta didik yang sebenarnya harus ‘tahan kelas’ ke kelas berikutnya. Ini adalah kekeliruan yang dibuat oleh lembaga pendidikan, padahal sebuah lembaga pendidikan memiliki otoritas untuk menahan peserta didik yang tidak mampu sehingga memberinya kesempatan belajar dan memperbaiki diri agar kedepan prestasinya dapat meningkat.

Setiap lembaga pendidikan akan menjadi lembaga pendidikan unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh. Selama lembaga pendidikan hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya maka lembaga pendidikan tidak akan pernah menjadi lembaga pendidikan unggulan.
Proses perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia saat ini sangat mendesak dan perlu segera dilakukan dengan synergy harmonis yang muncul dengan tidak saling mempersalahkan dari lembaga pendidikan, orang tua, dan shareholder serta stakeholder yang ada demi kejayaan pendidikan di Indonesia.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan munuju suatu perubahan tentu saja tida bisa saling menunjuk siapa yang paling beranggung jawab, tetapi diperlukan kerjasama antar lembaga terkait,karena masing masing lembaga punya peran dan tanggung jawab dalam mensukseskan pendidikan di Indonesia.

 

 

PENBINAAN PROFESIONAL MAHASISWA PRAKTIKAN MELALUI KEGIATAN PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN

PENBINAAN PROFESIONAL MAHASISWA PRAKTIKAN

 MELALUI

KEGIATAN PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN

( STUDI KASUS PADA UPT PPL FKIP UNSWAGATI)

 ( Oleh Mintarsih Danumihardja)

 

 

Abstract

The article is written to inform that, based on the reseach report of the competence standars of the students from FKIP. Decition makers in the FKIP should always be prepared to face various changes, including  the policies in the competence standar for the  professional tachers. However they are focused on the school SMA or SMK for the practice  one semester.

More ever , to facilitate an effective training for students is conducting need establishing a condusive climate in the process of learning

The result of this PPL  are follow : first this positive correlation between cognitive, affective and psycomotoric. The second there is positive correlation between ability, personality and performance students

 

Pendahuluan :

Program pengalaman lapangan lapangan membuka peluang kepada mahasiswa FKIP semester tujuh, untuk memantapkan diri menjalankan praktek menjadi guru yang sesungguhnya selama kurang lebih satu semester. Peluang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, karena PPL merupakan kesempatan uji coba  performance menjalankan profesi guru.

Rendahnya mutu pendidikan dan adanya kecenderungan kualitas pendidikan yang terus mengalami penurunan merupakan issu yang krusial. Mutu pendidikan yang semakin menurun ini diakibatkan  oleh berbagai faktor antara lain :

  1. Proses belajar mengajar yang tidak efektif, karena banyak guru yang kurang profesional dalam memberi KBM sehingga KBM tidak memotivasi terjadinya pembelajaran.
  2. Program Penglaman Lapangan merupakan wahana yang amat penting sebagai ajang untuk membina professional mahasiswa praktikan baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik..
  3. Pembinaan guru pamong  yang  kurang maksimal, dan kurang kerja sama antara guru pamong dan dosen pembimbing menyebabkan pembinaan mahasiswa terkesan kurang efektif  dalam mencapai kualitas yang diharapkan.

Dari beberapa penjelasan di atas mencerminkan adanya kesenjangan yang cukup berarti antara profit  pelaksanaan pembinaan profesional calon guru/ mahasiswa praktikan yang dilaksanakan oleh FKIP dengan tuntutan pelaksanaan pembinaan profesional calon guru dalam rangka meningkatkan mutu guru. Kesenjangan ini merupakan masalah yang sangat penting untuk mendapat perhatian setiap orang terutama UPT PPL FKIP sebagai institusi berwenang yang  bertangung jawab atas penyelenggaraan PPL, agar tidak muncul pendapat PPL hanya sebagai syarat untuk memperoleh sertifikat agar mahasiswa boleh ujian sidang pada semester yang ditentukan. Kenyataan ini menggugah penulis untuk  mengemukakan penelitian  guna memperoleh informasi yang  lengkap dan akurat tentang berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tersebut.

Bertolak dari rumusan masalah di atas peneliti memfokuskan penelitian terhadap    (1) Efektivitas pemberdayaan guru pamong dan dosen pembimbing dalam pembinaan mahasiswa paktikan, (2) Pengembangan sekolah latihan sebagai oganisasi belajar bagi mahasiswa praktikan dan (3) Penataan Manajemen Sumber Daya Pendidikan.

Pada FKIP, fokus ini ini didasarkan pada konsepsi bahwa substansi pembinaan calon guru untuk menjadi guru profesional dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan harus mengacu pada 3 aspek di atas, sehingga mampu menciptakan  suasana yang kondusif bagi peningkatan kualitas output yang dihasilkan oleh FKIP.

Pemberdayaan guru pamong dari dosen pembimbing, artinya kedua komponen ini akan mampu meningkatkan kemampuan  mahasiswa praktikan  sebagai calon guru profesional melalui  peningkatan pengetahuan, keterampilan kreativitas  dan kemandiriannya.

Pengembangan sekolah latihan sebagai organisasi belajar adalah upaya memotivasi  mahasiswa  agar mereka  termotivasi untuk berusaha secara mandiri dan kelompok meningkatkan  profesionalnya, untuk menyiapkan diri menjadi guru yang profesional.

Penataan manajemen sumber daya pendidikan dimaksudkan untuk  mendapat dukungan semua pihak tentang keberadaan UPT PPL dalam rangka upaya peningkatan mutu pendidikan  melalui pogram pengalaman  lapangan. Sumber daya pendidikan  khusus untuk UPT PPL antara lain micro-teaching, alat/ media yang memadai yang dibutuhkan khusus untuk penyelenggaraan pendidikan menyangkut mekanisme pengadaan baik pencarian, pembelian dan pembuatan alat/ media pendidikan yang berkaitan dengan kegiatan PPL pada khususnya dan kegiatan pembelajaran pada umumnya.

Fokus penelitian ini dijabarkan dalam bentuk  pertanyaan apakah upaya pemberdayaan guru pamong dan dosen pembimbing telah efektif dalam pembinaan mahasiswa praktikan untuk  menyiapkan guru yang professional, di samping itu bagaimana pengembangan sekolah  latihan sebagai organisasi belajar  telah dilaksanakan dalam rangka pembinaan  mahasiswa praktikan serta  apakah upaya penataan manajemen  sumber daya pendidikan telah dilaksanakan secara efektif dan terakhir faktor apa saja yang menjadi kendala yang menghambat  upaya peningkatan profesional  calon guru/ mahasiswa praktikan.

Permasalahan efektivitas pembinaan kemampuan profesional calon guru terutama menitikberatkan pada upaya pemberdayaan guru pamong  dan dosen pembimbing, pengembangan organisasi sekolah dan konsep manajemen sumber daya pendidikan.

Kelangsungan pembinaan calon guru oleh guru pamong dan dosen pembimbing pada dasarnya adalah implementasi kaidah-kaidah administrasi pendidikan dalam sistem pengembangan profesional, yaitu : melalui administrasi pendidikan ingin mencapai tujuan yang efektif dan efisien, karena pembinaan profesional guru termasuk dalam cakupan tugas administrasi pendidikan.

Pelaksanaan PPL pada dasarnya bertujuan untuk  memperoleh kompetensi yang relevan dengan tugas guru yang berkitan dengan pembelajaran, pelatihan dan bimbingan. Kompetensi ini dapat diperoleh  melalui pengalaman belajar diawali pada saat PPL dilaksanakan, kompetensi yang  harus dimiliki berkaitan dengan profesi guru yang profesional antara lain : mampu mengembangkan kepribadian murid, menguasai landasan kependidikan, menguasai bahan pengajaran, mampu menyusun program pengajaran, dapat melaksanakan program pengajaran, mampu menilai hasil dan proses belajar – mengajar  yang telah dilaksanakan, dapat menyelenggarakan program bimbingan, dapat menyelenggarakan adninistrasi sekolah, mampu berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat dan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk  kepentingan pengajaran  (Ditjen Pend. Guru-guru Teknis Dirjen Dikdasmen).

Untuk memberikan pelatihan yang efektif kepada mahasiswa praktikan sebaiknya diciptakan suasana yang mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :

–          Menciptakan iklim fisik dan psikis yang kondusif untuk latihan

–          Melibatkan  para mahasiswa praktikan dalam merencanakan tujuan, menentukan materi dan memilih metoda, media serta sumber daya pendidikan lainnya yang akan mempengaruhi kualitas pembelajaran di sekolah

Para guru pamong dan dosen pembimbing digharapkan mampu memotivasi para mahasiswa praktikan mengidentifikasi  sumber-sumber belajar dan menggunakan berbagai strategi dalam memanfaatkan sumber-sumbner belajar tersebut untuk mencapai tujuan pembelajaran.. Dilain pihak mahasiswa  praktikan harus memacu diri memanfaatkan kesempatan PPL sebagai ajang memperoleh pengalaman untuk  mempersiapkan menjadi guru yang punya kompetensi dalam bidang akademik, kompetensi pribadi dan kompetensi social. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan melalui UPT PPL mempunyai kewajiban membina PPL , karena hanya melalui program inilah mahasiswa dapat diharapkan memperoleh pengalaman yang sebenarnya menjadi guru yang professional. Kesempatan PPL adalah ajang untuk menguji kesiapan fisik dan mental menjadi guru yang sebenarnya, diibaratkan untuk menjadi seorang dokter mahasiswa fakultas kedokteran harus bersusah payah melakukan latihan praktek menjadi coas dalam jangka waktu yang cukup lama.

Metodologi :

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui standar kompetensi yang harus dimiliki mahasiswa praktikan. Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan metode survey.

Dengan menggunakan metode deskriptif penelitian ini berusaha menjelaskan informasi yang diperoleh melalui pengumpulan data lapangan. Data yang diperoleh dijelaskan secara kualitatif, data diperoleh  dari mahasiswa praktikan  guru pamong  dan dosen pembimbing.

Lokasi penelitian ditetapkan di SMA dan SMK Kota Cirebon yang dipakai sekolah latihan PPL, oleh mahasiswa FKIP Unswagati Cirebon.

Responden penelitian adalah mahasiswa praktikan, guru pamong dan dosen pembimbing, serta sebagai data tambahan diusahakan data yang berasal dari arsip yang ada di UPT PPL FKIP Unswagati Cirebon.

 

Hasil Penelitian :

Sistem pembinaan mahasiswa praktikan pada saat melaksanakan Program Pengalaman Lapangan pada sekolah tempat melakukan PPL, dilihat dari mekanisme pelaksanaan pembinaan, cenderung bersifat tradisisonal, yaitu guru pamong duduk di belakang sebagai pengawas yang menunggui mahasiswa praktikan melaksanakan  proses belajar mengajar, kegiatan lain yang dilakukan oleh mahasiswa adalah piket sekolah, mengikuti upacara dengan kegiatan intern lainnya. Mahasiswa praktikan dikondisikan seolah-olah harus siap mengikuti seluruh aturan yang ada di tiap sekolah di mana mereka melakukan PPL, mahasiswa juga harus siap melaksanakan kebijakan dari atas sesuai dengan kemampuan.

Dosen pembimbing hanya menyempatkan diri datang ke sekolah tempat berlatih sewaktu-waktu saja dan melaksanakan evaluasi menjelang dilaksanakan ujian praktek. Dosen pembimbing memberi petunjuk dalam menyiapkan ujian yang akan dilaksanakan. Dengan kata lain guru pamong dan dosen pembimbing melakukan kegiatan yang disebut kegiatan pembinaan profesioanl mahasiswa yang efektif dalam rangka peningkatan hasil.

Wawancara dengan mahasiswa diperoleh jawaban bahwa dorongn dan motivasi yang diberikan oleh guru pamong dan dosen pembimbing, merupakan modal untuk memacu dirinya berusaha meningkatkan kemampuan agar menjadi guru yang baik.

Dalam membina mahasiswa praktikan sebagai calon guru yang profesional pada pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan, belum terlihat secara nyata upaya pemberdayaan mahasiswa praktikan sebagai berikut bagaimana upaya dosen pembimbing dan guru pamong, meningkatkan  pengetahuan (kognitif) yang diperlukan terutama dalam era yang penuh tantangan dan sedang gencarnya perubahan  dalam dunia pendidikan yang berdampak pada  proses belajar mengajar. Guru pamong juga belum secara nyata membantu peningkatan keterampilan (psikomotor) bagaimana seharusnya mahasiswa praktikan mengelola kelas dan mengelola pembelajaran yang efisien, agar kegiatan belajar mengajar menjadi kondusif. Guru pamong dan dosen pembimbing belum memberikan pembinaan yang optimal dan berperan menjadi fasilitator dan mediator dalam  mengembangkan mahasiswa praktikan. Upaya guru pamong dan dosen pembimbing belum dilakukan secara nyata, tetapi sekedar melalui catatan secara rutin dalam buku bimbingan (buku supervise kelas) di samping itu masih banyak mahasiswa praktikan yang menjalankan PPL sekedar memenuhi syarat saja.

Kegiatan guru pamong dan dosen pembimbing belum diarahkan secara efektif pada usaha pengembangan sekolah sebagai wawasan wiyata mandala/ organisasi belajar. Kegiatan inti pembinaan mahasiswa praktikan baru sebatas membicarakan kelemahan mahasiswa dalam mengajar, belum memberikan solusi pemecahan masalah secara konseptual (problem solving). Dosen pembimbing lebih bersifat menunggu baru akan memberikan bimbingan selama PPL apabila mahasiswa memintanya, tetapi sebatas mengadakan konsultasi dengan mahasiswa dan guru pamong, akibatnya mahasiswa kurang termotivasi untuk melaksanakan PPL secara optimal dalam upaya mengembangkan kemampuan profesionalnya.

Program sekolah sebagai wawasan wiyata mandala/ masyarakat belajar/ organuisssi belajar berarti menciptakan situasi sekolah yang dapat mendoorong mahasiswa praktikan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kreativitas dan kepedulian terhadap perubahan di luar sekolah yang dapat mempengaruhi proses pendidikan di sekolah, lebih secara individu maupun kelompok. Mengembangkan sekolah sebagai organisasi belajar berarti memberikan dorongan kepada mahasiswa praktikan agar mereka memacu diri untuk terus menerus belajar.

Upaya mencari bantuan dan dukungan institusi lain, masyarakat dan Dinas Pendidikan Kota belum dilaksanakan secara efektif. Upaya bantuan untuk menyelenggarakan PPL baru sebatas bantuan  dalam bentuk penyediaan kelas untuk berlatih bagi mahasiswa praktikan. Dinas Pendidikana Kota baru sebatas memfasilitasi izin-izin melaksanaakan PPL, padahal sebenarnya Dinas Pendidikan Kota  harus mampu memberi bantuan optimal  untuk mengembangkan profesional mahasiswa praktikan yang diharapkan akan menjadi guru yang profesional. UPT PPL baru menggunakan dana-dana yang diperoleh dari mahasiswa untuk menyelenggarakan PPL, oleh karena itu tentu saja dana PPL menjadi sangat terbatas dan bisa digambarkan kegiatan PPL tidak mampu melakukan pembinaan secara optimal.

Untuk menciptakan proses belajar mengajar yang lebih baik dan lebih berkualitas, mahasiswa memerlukan sarana/ media pendidikan yang kondusif. Karena penyediaan sarana pendidikan akan berimplikasi pada program pengalaman lapangan dalam rangka pembinaan profesional mahasiswa praktikan. Guru pamong dan dosen pembimbing memberikan perhatian pada aspek penataan manajemen sumber daya pendidikan,. tentu saja  untuk mengantisipasi kekurangan sarana diperlukan  bantuan dari berbagai pihak. Manajemen sarana dan prasarana pendidikan  berkaitan dengan dampak pembinaan oleh karena itu perlu adanya dukungan institusi untuk menyediakan sarana dan prasana agar PPL menjadi lebih profesional.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa guru pamong memberikan perhatian yang cukup besar terhadap sarana yang diperlukan oleh mahasiswa, walaupun dalam arti bantuan yang masih terbatas, belum mengarah kepada pembinaan yang disesuaikan dengan kondisi kegiatan belajar mengajar masa kini   misalnya  mahasiswa  belum mampu mnggunakan media teknologi tinggi seperti LCD,  atau alat yang masih sederhana sekalipun missal bagaimana cara mengajar mempergunakan OHP dengan baik dan benar., sebab barang ini  masih merupakan  barang langka dalam KBM. Oleh karena itu wajar sekali kemampuan mahasiswa  dalam penggunaan alat/ media seperti tersebut di atas tidak berkembang. Mahasiswa masih didorong untuk menggunakan alat/ media alakadarnya. Belum efektifnya penataan sumber daya pendidikan ini juga lebih disebabkan  oleh kondisi guru pamong yang pengetahuannya tentang adnministrasi pendidikan juga terbatas. Kondisi di lapangan menunjukkan guru pamong dan dosen pembimbing juga kebanyakan hanya memahami tugasnya sebagai pengajar saja, dan melaksanakan

Pembahasan hasil penelitian

Seperti dikemukaan pada hasil penelitian, pembinaan terhadap mahasiswa praktikan belum menunjukan langkah-langkah yang efektif. Para guru pamong tidak pernah secara  komprehensif menilai kebutuhan  program PPL, bagaimana melakukan kegiatan pembinaan dengan menganalisis kebutuhan  mahasiswa praktikan, mendiagnosa masalah dan faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa yang sedang PPL. Program pembinaan yang realistis berdasarkan identifikasi masalah belum dimiliki oleh guru pamong dan dosen pembimbing. Upaya pembinaan yang dilakukan  baru terbatas kepada upaya pembinaan sikap dan disiplin mengajak mahasiswa dalam melaksanakan PPL lebih diarahkan kepada tugas intern. Pertemuan intern baik secara individu maupun kelompok  belum dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahamaman mahasiswa  tentang konsep pendidikan dan pengajaran secara makro, yang ahirnya mahasiswa praktikum terjebak melaksanakan pengajaran semata-mata.

Pengembangan sekolah sebagai organisasi belajar berarti menciptakan wawasan wiyata mandala, yang dapat mendorong mahasiswa  praktikan sebagai calon guru mampu meningkat kan kognitif, psikomotor dan kreativitas  dan tentu saja bagaimana penelitian kepedulian mahasiswa di luar kelas mampu mempengaruhi proses pembelajaran baik secara individu maupun secara kelompok. Secara operasional seharusnya  guru pamong dan dosen pembimbing mampu melakukan  upaya pembinaan yang diarahkan untuk melakukan calon guru sebagai “manusia belajar” dalam rangka menanamkan kesadaran bahwa untuk menciptakan masyarakat belajar semua harus belajar sepanjang hayat.

Sekolah sebagai organisasi belajar/ wawasan wiyata mandala adalah sekolah di mana setiap individu yang ada di dalamnya terus menerus belajar, agar mampu menjadi manusia yang unggul, dan mampu meningkatkan profesionalnya, sebab profesional harus dibentuk sepanjang masa.

Yang terlihat pada program PPL, guru pamong dan dosen pembimbing belum mampu menciptakan suasana seperti yang digambarkan di atas. Untuk menciptakan proses belajar mengajar yang lebih baik, perlu dibantu sarana dan prasarana/ media pendidikan yang kondusif, implikasinya pembinaan profesional mahasiswa praktikan juga  harus mencakup perhatian  guru pamong pada aspek pentaan manajemen sumber daya pendidikan.

Pada saat PPL mahasiswa tidak memperoleh informasi tentang manajeman sarana dan prasarana kembali lagi pada persoalan  guru pamong hanya terfokus pada pembinaan proses belajar mengajar saja. Padahal kita paham betul indikator manajemen sumber daya pendidikan sangat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar.

Program PPL adalah program yang seharusnya dibina oleh berbagai instansi, tidak hanya sebatas kerjasama antara sekolah latihan dan UPT PPL saja tetapi juga perlu bantuan dari instansi terkait  misalnya Dinas Pendidikan Kota. Kerja sama ini perlu dibangun agar program pengaman lapangan ini akan semakin berkualitas, terlebih dengan semakin dituntutnya profesional dari profesi guru. Kerja sama ini perlu difasilitasi oleh pihak Universitas untuk melakukan MoU dengan Dinas Pendidikan agar diakui oleh semua pihak bahwa PPL merupakan kegiatan yang dilakukan secara serius untuk memperoleh kualitas pima, yaitu meningkatkan calon guru yang profesional.

 

Simpulan dan saran :

Berdasarkan uraian dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

  1. Terlihat adanya kecenderungan bahwa pelaksanaan program pengalaman lapangan di FKIP belum sesuai dengan harapan institusi yaitu PPL dijadikan ajang pembelajaran, untuk menyiapkan guru yang profesional yang mampu merencanakan melaksanakan dan mengevaluasi proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Pembinaan yang diterima oleh mahasiswa selama PPL  baru bersifat pengawasan rutin,  dalam bidang administrasi pengajaran, serta menjalankan kebijakan yang diberikan oleh guru pamong saja.
  2. Belum berjalannya PPL seseuai dengan harapan juga disebabkan kurang seriusnya peran guru pamong dan dosen pembimbing dalam menangani pembinaan mahasiswa praktikan. Masih banyak guru pamong dan dosen pembimbing dalam menjalankan tugas sebatas malaksanakan tugas rutinnya saja. Guru pamong dan dosen pembimbing belum melakukan kegiatan nyata memberdayakan mahasiswa praktikan penilaian baru bersifat catatan rutin dalam buku supervisi kelas.
  3. Sebagian guru pamong dan dosen pembimbing mengaitkan ketidakseriusan dalam bekerja ini  dengan padatnya tugas mengajar  yang harus mereka lakukan dan belum tersedianya balas jasa yang memadai terhadap tugas yang mereka lakukan, padahal pembinaan mahasiswa praktikan merupakan tugas tambahan  dari institusi di luar tugas  pokok yang berkaitan dengan tugas masing-masing. Perlu difikirkan insentiv yang cukup memadai, sehingga UPT PPL dapat menuntut pelayanan  yang lebih baik pada saat guru pamong dan dosen pembimbing melakukan pembinaan tehadap mahasiswa praktikan.
  4. Dalam penelitian ini juga terungkap amat terbatasnya informasi mengenai program PPL yang sampai ke guru pamong dan dosen pembimbing,  sebagai pelaksana di lapangan dan begitu juga sebaliknya sehingga sering terjadi miss comunication  dan ini juga merupakan manivestasi dari lemahnya  kontrol atau penggawasan penyelenggaraan  terhadap pelaksanaannya PPL,  baik pada tingkat strategis maupun di tingkat pelaksanaan di lapangan.
  5. Meskipun persediaan sarana dan prasarana baik yang berupa Hardware dan Software, diperkirakan sebagai penyebab dari tidak berjalannya program PPL secara maksimal, tetapi berdasarkan observasi yang dominan sebagai penyebab tidak efisiennya program PPL lebih disebabkan pada kurangnya komitmen petugas. Selain factor personal upaya pembinaan juga disebabkan oleh fktor administrative dan factor manajerial.

 

Saran saran

Untuk meningkat penyelenggaraan dan kegiatan PPL agar kualitasnya lebih meningkat , perlu persaratan khusus untuk menjadi guru pamong, agar pembinaan terhadap mahasiswa menjadi lebih baik baik lagi, pembinaan tidak sekedar mengenai cara mengajar tapi lebih subtansial yaitu mengarah kepada kepada pemilikan kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh guru antara lain kompetensi akademik, kompetensi social dan kompetensi pribadi.

Perlu dikembangkan manajemen partisipatif, dalam system pembinaan professional mahasiswa praktikan, yang memberi kesempatan kepada seluruh individu yang terkait untuk menjalan kewajiban sesuai dengan  ketentuan dan memperoleh hak sesuai dengan kewajibannya.

Perlu dikembangkan micro teaching yang memiliki fasilitas yang memadai sebagai salah satu sumber belajar sebelum mahasiswa turun kelapangan sehingga mereka lebih siap.

 

Daftar Pustaka :

 

Abin Syamsudin Makmun (1992), Pengembangan Profesional Tenaga Kependidikan, IKIP Bandung.

 

Bredo A.E & Bredo E.R. (1975), Managing Change In Educational Organization,  McCuthan Publishhing Company, New York.

 

Gordon Thomas (terjemahan Mujito) (1984), Guru Yang Efektif cara untuk mengatasi kesulitan kelas, CV.Rajawali, Jakarrta.

 

Hoy Wayne K. dan Lecil Hiskel G. (1978) Educational Administration Theory, Research, and Practice, Randon House, New York.

 

John Wiles, Joseph Bondi (1986), Supervision, A Guide to Practice, Charles E.Herrt Publishing Company, Ohio.

 

Murriel Gerhard (1971), Effective Teaching Strate Giols With The Behavior Outcome Approach, Barka Publishing Loy Inc., New York.

 

Morrant R.W. (1981), In Service Education Wither The School, Geor Allen and Unwin, London.

 

Sergiovanni, Thomas J., & Robert J.Starrat (1971), Emerging Pattern of Supervision Human Prespective, Mc Graw – Hill Book Company, Ner York.

 

Sucipto (2002), Administrasi dan Profesi Tenaga Kependidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Biodata :         Mintarsih Danumihardja

Lahir di Jakarta, 28 April 1945.

Dosen Kopertis Wilayah IV Jabar, dpk FKIP Unswagarti Cirebon.

Sekretaris LPPM Unswagati Cirebon.

Memperoleh gelar Master Pendidikan di IKIP Bandung tahun 1999,

dan menyelesaikan gelar Doktor Kependidikan di UPI tahun 2003.

PENBINAAN PROFESIONAL MAHASISWA PRAKTIKAN

 MELALUI

KEGIATAN PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN

( STUDI KASUS PADA UPT PPL FKIP UNSWAGATI)

 ( Oleh Mintarsih Danumihardja)

 

 

Abstract

The article is written to inform that, based on the reseach report of the competence standars of the students from FKIP. Decition makers in the FKIP should always be prepared to face various changes, including  the policies in the competence standar for the  professional tachers. However they are focused on the school SMA or SMK for the practice  one semester.

More ever , to facilitate an effective training for students is conducting need establishing a condusive climate in the process of learning

The result of this PPL  are follow : first this positive correlation between cognitive, affective and psycomotoric. The second there is positive correlation between ability, personality and performance students

 

Pendahuluan :

Program pengalaman lapangan lapangan membuka peluang kepada mahasiswa FKIP semester tujuh, untuk memantapkan diri menjalankan praktek menjadi guru yang sesungguhnya selama kurang lebih satu semester. Peluang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, karena PPL merupakan kesempatan uji coba  performance menjalankan profesi guru.

Rendahnya mutu pendidikan dan adanya kecenderungan kualitas pendidikan yang terus mengalami penurunan merupakan issu yang krusial. Mutu pendidikan yang semakin menurun ini diakibatkan  oleh berbagai faktor antara lain :

  1. Proses belajar mengajar yang tidak efektif, karena banyak guru yang kurang profesional dalam memberi KBM sehingga KBM tidak memotivasi terjadinya pembelajaran.
  2. Program Penglaman Lapangan merupakan wahana yang amat penting sebagai ajang untuk membina professional mahasiswa praktikan baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik..
  3. Pembinaan guru pamong  yang  kurang maksimal, dan kurang kerja sama antara guru pamong dan dosen pembimbing menyebabkan pembinaan mahasiswa terkesan kurang efektif  dalam mencapai kualitas yang diharapkan.

Dari beberapa penjelasan di atas mencerminkan adanya kesenjangan yang cukup berarti antara profit  pelaksanaan pembinaan profesional calon guru/ mahasiswa praktikan yang dilaksanakan oleh FKIP dengan tuntutan pelaksanaan pembinaan profesional calon guru dalam rangka meningkatkan mutu guru. Kesenjangan ini merupakan masalah yang sangat penting untuk mendapat perhatian setiap orang terutama UPT PPL FKIP sebagai institusi berwenang yang  bertangung jawab atas penyelenggaraan PPL, agar tidak muncul pendapat PPL hanya sebagai syarat untuk memperoleh sertifikat agar mahasiswa boleh ujian sidang pada semester yang ditentukan. Kenyataan ini menggugah penulis untuk  mengemukakan penelitian  guna memperoleh informasi yang  lengkap dan akurat tentang berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tersebut.

Bertolak dari rumusan masalah di atas peneliti memfokuskan penelitian terhadap    (1) Efektivitas pemberdayaan guru pamong dan dosen pembimbing dalam pembinaan mahasiswa paktikan, (2) Pengembangan sekolah latihan sebagai oganisasi belajar bagi mahasiswa praktikan dan (3) Penataan Manajemen Sumber Daya Pendidikan.

Pada FKIP, fokus ini ini didasarkan pada konsepsi bahwa substansi pembinaan calon guru untuk menjadi guru profesional dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan harus mengacu pada 3 aspek di atas, sehingga mampu menciptakan  suasana yang kondusif bagi peningkatan kualitas output yang dihasilkan oleh FKIP.

Pemberdayaan guru pamong dari dosen pembimbing, artinya kedua komponen ini akan mampu meningkatkan kemampuan  mahasiswa praktikan  sebagai calon guru profesional melalui  peningkatan pengetahuan, keterampilan kreativitas  dan kemandiriannya.

Pengembangan sekolah latihan sebagai organisasi belajar adalah upaya memotivasi  mahasiswa  agar mereka  termotivasi untuk berusaha secara mandiri dan kelompok meningkatkan  profesionalnya, untuk menyiapkan diri menjadi guru yang profesional.

Penataan manajemen sumber daya pendidikan dimaksudkan untuk  mendapat dukungan semua pihak tentang keberadaan UPT PPL dalam rangka upaya peningkatan mutu pendidikan  melalui pogram pengalaman  lapangan. Sumber daya pendidikan  khusus untuk UPT PPL antara lain micro-teaching, alat/ media yang memadai yang dibutuhkan khusus untuk penyelenggaraan pendidikan menyangkut mekanisme pengadaan baik pencarian, pembelian dan pembuatan alat/ media pendidikan yang berkaitan dengan kegiatan PPL pada khususnya dan kegiatan pembelajaran pada umumnya.

Fokus penelitian ini dijabarkan dalam bentuk  pertanyaan apakah upaya pemberdayaan guru pamong dan dosen pembimbing telah efektif dalam pembinaan mahasiswa praktikan untuk  menyiapkan guru yang professional, di samping itu bagaimana pengembangan sekolah  latihan sebagai organisasi belajar  telah dilaksanakan dalam rangka pembinaan  mahasiswa praktikan serta  apakah upaya penataan manajemen  sumber daya pendidikan telah dilaksanakan secara efektif dan terakhir faktor apa saja yang menjadi kendala yang menghambat  upaya peningkatan profesional  calon guru/ mahasiswa praktikan.

Permasalahan efektivitas pembinaan kemampuan profesional calon guru terutama menitikberatkan pada upaya pemberdayaan guru pamong  dan dosen pembimbing, pengembangan organisasi sekolah dan konsep manajemen sumber daya pendidikan.

Kelangsungan pembinaan calon guru oleh guru pamong dan dosen pembimbing pada dasarnya adalah implementasi kaidah-kaidah administrasi pendidikan dalam sistem pengembangan profesional, yaitu : melalui administrasi pendidikan ingin mencapai tujuan yang efektif dan efisien, karena pembinaan profesional guru termasuk dalam cakupan tugas administrasi pendidikan.

Pelaksanaan PPL pada dasarnya bertujuan untuk  memperoleh kompetensi yang relevan dengan tugas guru yang berkitan dengan pembelajaran, pelatihan dan bimbingan. Kompetensi ini dapat diperoleh  melalui pengalaman belajar diawali pada saat PPL dilaksanakan, kompetensi yang  harus dimiliki berkaitan dengan profesi guru yang profesional antara lain : mampu mengembangkan kepribadian murid, menguasai landasan kependidikan, menguasai bahan pengajaran, mampu menyusun program pengajaran, dapat melaksanakan program pengajaran, mampu menilai hasil dan proses belajar – mengajar  yang telah dilaksanakan, dapat menyelenggarakan program bimbingan, dapat menyelenggarakan adninistrasi sekolah, mampu berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat dan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk  kepentingan pengajaran  (Ditjen Pend. Guru-guru Teknis Dirjen Dikdasmen).

Untuk memberikan pelatihan yang efektif kepada mahasiswa praktikan sebaiknya diciptakan suasana yang mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :

–          Menciptakan iklim fisik dan psikis yang kondusif untuk latihan

–          Melibatkan  para mahasiswa praktikan dalam merencanakan tujuan, menentukan materi dan memilih metoda, media serta sumber daya pendidikan lainnya yang akan mempengaruhi kualitas pembelajaran di sekolah

Para guru pamong dan dosen pembimbing digharapkan mampu memotivasi para mahasiswa praktikan mengidentifikasi  sumber-sumber belajar dan menggunakan berbagai strategi dalam memanfaatkan sumber-sumbner belajar tersebut untuk mencapai tujuan pembelajaran.. Dilain pihak mahasiswa  praktikan harus memacu diri memanfaatkan kesempatan PPL sebagai ajang memperoleh pengalaman untuk  mempersiapkan menjadi guru yang punya kompetensi dalam bidang akademik, kompetensi pribadi dan kompetensi social. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan melalui UPT PPL mempunyai kewajiban membina PPL , karena hanya melalui program inilah mahasiswa dapat diharapkan memperoleh pengalaman yang sebenarnya menjadi guru yang professional. Kesempatan PPL adalah ajang untuk menguji kesiapan fisik dan mental menjadi guru yang sebenarnya, diibaratkan untuk menjadi seorang dokter mahasiswa fakultas kedokteran harus bersusah payah melakukan latihan praktek menjadi coas dalam jangka waktu yang cukup lama.

Metodologi :

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui standar kompetensi yang harus dimiliki mahasiswa praktikan. Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan metode survey.

Dengan menggunakan metode deskriptif penelitian ini berusaha menjelaskan informasi yang diperoleh melalui pengumpulan data lapangan. Data yang diperoleh dijelaskan secara kualitatif, data diperoleh  dari mahasiswa praktikan  guru pamong  dan dosen pembimbing.

Lokasi penelitian ditetapkan di SMA dan SMK Kota Cirebon yang dipakai sekolah latihan PPL, oleh mahasiswa FKIP Unswagati Cirebon.

Responden penelitian adalah mahasiswa praktikan, guru pamong dan dosen pembimbing, serta sebagai data tambahan diusahakan data yang berasal dari arsip yang ada di UPT PPL FKIP Unswagati Cirebon.

 

Hasil Penelitian :

Sistem pembinaan mahasiswa praktikan pada saat melaksanakan Program Pengalaman Lapangan pada sekolah tempat melakukan PPL, dilihat dari mekanisme pelaksanaan pembinaan, cenderung bersifat tradisisonal, yaitu guru pamong duduk di belakang sebagai pengawas yang menunggui mahasiswa praktikan melaksanakan  proses belajar mengajar, kegiatan lain yang dilakukan oleh mahasiswa adalah piket sekolah, mengikuti upacara dengan kegiatan intern lainnya. Mahasiswa praktikan dikondisikan seolah-olah harus siap mengikuti seluruh aturan yang ada di tiap sekolah di mana mereka melakukan PPL, mahasiswa juga harus siap melaksanakan kebijakan dari atas sesuai dengan kemampuan.

Dosen pembimbing hanya menyempatkan diri datang ke sekolah tempat berlatih sewaktu-waktu saja dan melaksanakan evaluasi menjelang dilaksanakan ujian praktek. Dosen pembimbing memberi petunjuk dalam menyiapkan ujian yang akan dilaksanakan. Dengan kata lain guru pamong dan dosen pembimbing melakukan kegiatan yang disebut kegiatan pembinaan profesioanl mahasiswa yang efektif dalam rangka peningkatan hasil.

Wawancara dengan mahasiswa diperoleh jawaban bahwa dorongn dan motivasi yang diberikan oleh guru pamong dan dosen pembimbing, merupakan modal untuk memacu dirinya berusaha meningkatkan kemampuan agar menjadi guru yang baik.

Dalam membina mahasiswa praktikan sebagai calon guru yang profesional pada pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan, belum terlihat secara nyata upaya pemberdayaan mahasiswa praktikan sebagai berikut bagaimana upaya dosen pembimbing dan guru pamong, meningkatkan  pengetahuan (kognitif) yang diperlukan terutama dalam era yang penuh tantangan dan sedang gencarnya perubahan  dalam dunia pendidikan yang berdampak pada  proses belajar mengajar. Guru pamong juga belum secara nyata membantu peningkatan keterampilan (psikomotor) bagaimana seharusnya mahasiswa praktikan mengelola kelas dan mengelola pembelajaran yang efisien, agar kegiatan belajar mengajar menjadi kondusif. Guru pamong dan dosen pembimbing belum memberikan pembinaan yang optimal dan berperan menjadi fasilitator dan mediator dalam  mengembangkan mahasiswa praktikan. Upaya guru pamong dan dosen pembimbing belum dilakukan secara nyata, tetapi sekedar melalui catatan secara rutin dalam buku bimbingan (buku supervise kelas) di samping itu masih banyak mahasiswa praktikan yang menjalankan PPL sekedar memenuhi syarat saja.

Kegiatan guru pamong dan dosen pembimbing belum diarahkan secara efektif pada usaha pengembangan sekolah sebagai wawasan wiyata mandala/ organisasi belajar. Kegiatan inti pembinaan mahasiswa praktikan baru sebatas membicarakan kelemahan mahasiswa dalam mengajar, belum memberikan solusi pemecahan masalah secara konseptual (problem solving). Dosen pembimbing lebih bersifat menunggu baru akan memberikan bimbingan selama PPL apabila mahasiswa memintanya, tetapi sebatas mengadakan konsultasi dengan mahasiswa dan guru pamong, akibatnya mahasiswa kurang termotivasi untuk melaksanakan PPL secara optimal dalam upaya mengembangkan kemampuan profesionalnya.

Program sekolah sebagai wawasan wiyata mandala/ masyarakat belajar/ organuisssi belajar berarti menciptakan situasi sekolah yang dapat mendoorong mahasiswa praktikan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kreativitas dan kepedulian terhadap perubahan di luar sekolah yang dapat mempengaruhi proses pendidikan di sekolah, lebih secara individu maupun kelompok. Mengembangkan sekolah sebagai organisasi belajar berarti memberikan dorongan kepada mahasiswa praktikan agar mereka memacu diri untuk terus menerus belajar.

Upaya mencari bantuan dan dukungan institusi lain, masyarakat dan Dinas Pendidikan Kota belum dilaksanakan secara efektif. Upaya bantuan untuk menyelenggarakan PPL baru sebatas bantuan  dalam bentuk penyediaan kelas untuk berlatih bagi mahasiswa praktikan. Dinas Pendidikana Kota baru sebatas memfasilitasi izin-izin melaksanaakan PPL, padahal sebenarnya Dinas Pendidikan Kota  harus mampu memberi bantuan optimal  untuk mengembangkan profesional mahasiswa praktikan yang diharapkan akan menjadi guru yang profesional. UPT PPL baru menggunakan dana-dana yang diperoleh dari mahasiswa untuk menyelenggarakan PPL, oleh karena itu tentu saja dana PPL menjadi sangat terbatas dan bisa digambarkan kegiatan PPL tidak mampu melakukan pembinaan secara optimal.

Untuk menciptakan proses belajar mengajar yang lebih baik dan lebih berkualitas, mahasiswa memerlukan sarana/ media pendidikan yang kondusif. Karena penyediaan sarana pendidikan akan berimplikasi pada program pengalaman lapangan dalam rangka pembinaan profesional mahasiswa praktikan. Guru pamong dan dosen pembimbing memberikan perhatian pada aspek penataan manajemen sumber daya pendidikan,. tentu saja  untuk mengantisipasi kekurangan sarana diperlukan  bantuan dari berbagai pihak. Manajemen sarana dan prasarana pendidikan  berkaitan dengan dampak pembinaan oleh karena itu perlu adanya dukungan institusi untuk menyediakan sarana dan prasana agar PPL menjadi lebih profesional.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa guru pamong memberikan perhatian yang cukup besar terhadap sarana yang diperlukan oleh mahasiswa, walaupun dalam arti bantuan yang masih terbatas, belum mengarah kepada pembinaan yang disesuaikan dengan kondisi kegiatan belajar mengajar masa kini   misalnya  mahasiswa  belum mampu mnggunakan media teknologi tinggi seperti LCD,  atau alat yang masih sederhana sekalipun missal bagaimana cara mengajar mempergunakan OHP dengan baik dan benar., sebab barang ini  masih merupakan  barang langka dalam KBM. Oleh karena itu wajar sekali kemampuan mahasiswa  dalam penggunaan alat/ media seperti tersebut di atas tidak berkembang. Mahasiswa masih didorong untuk menggunakan alat/ media alakadarnya. Belum efektifnya penataan sumber daya pendidikan ini juga lebih disebabkan  oleh kondisi guru pamong yang pengetahuannya tentang adnministrasi pendidikan juga terbatas. Kondisi di lapangan menunjukkan guru pamong dan dosen pembimbing juga kebanyakan hanya memahami tugasnya sebagai pengajar saja, dan melaksanakan

Pembahasan hasil penelitian

Seperti dikemukaan pada hasil penelitian, pembinaan terhadap mahasiswa praktikan belum menunjukan langkah-langkah yang efektif. Para guru pamong tidak pernah secara  komprehensif menilai kebutuhan  program PPL, bagaimana melakukan kegiatan pembinaan dengan menganalisis kebutuhan  mahasiswa praktikan, mendiagnosa masalah dan faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa yang sedang PPL. Program pembinaan yang realistis berdasarkan identifikasi masalah belum dimiliki oleh guru pamong dan dosen pembimbing. Upaya pembinaan yang dilakukan  baru terbatas kepada upaya pembinaan sikap dan disiplin mengajak mahasiswa dalam melaksanakan PPL lebih diarahkan kepada tugas intern. Pertemuan intern baik secara individu maupun kelompok  belum dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahamaman mahasiswa  tentang konsep pendidikan dan pengajaran secara makro, yang ahirnya mahasiswa praktikum terjebak melaksanakan pengajaran semata-mata.

Pengembangan sekolah sebagai organisasi belajar berarti menciptakan wawasan wiyata mandala, yang dapat mendorong mahasiswa  praktikan sebagai calon guru mampu meningkat kan kognitif, psikomotor dan kreativitas  dan tentu saja bagaimana penelitian kepedulian mahasiswa di luar kelas mampu mempengaruhi proses pembelajaran baik secara individu maupun secara kelompok. Secara operasional seharusnya  guru pamong dan dosen pembimbing mampu melakukan  upaya pembinaan yang diarahkan untuk melakukan calon guru sebagai “manusia belajar” dalam rangka menanamkan kesadaran bahwa untuk menciptakan masyarakat belajar semua harus belajar sepanjang hayat.

Sekolah sebagai organisasi belajar/ wawasan wiyata mandala adalah sekolah di mana setiap individu yang ada di dalamnya terus menerus belajar, agar mampu menjadi manusia yang unggul, dan mampu meningkatkan profesionalnya, sebab profesional harus dibentuk sepanjang masa.

Yang terlihat pada program PPL, guru pamong dan dosen pembimbing belum mampu menciptakan suasana seperti yang digambarkan di atas. Untuk menciptakan proses belajar mengajar yang lebih baik, perlu dibantu sarana dan prasarana/ media pendidikan yang kondusif, implikasinya pembinaan profesional mahasiswa praktikan juga  harus mencakup perhatian  guru pamong pada aspek pentaan manajemen sumber daya pendidikan.

Pada saat PPL mahasiswa tidak memperoleh informasi tentang manajeman sarana dan prasarana kembali lagi pada persoalan  guru pamong hanya terfokus pada pembinaan proses belajar mengajar saja. Padahal kita paham betul indikator manajemen sumber daya pendidikan sangat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar.

Program PPL adalah program yang seharusnya dibina oleh berbagai instansi, tidak hanya sebatas kerjasama antara sekolah latihan dan UPT PPL saja tetapi juga perlu bantuan dari instansi terkait  misalnya Dinas Pendidikan Kota. Kerja sama ini perlu dibangun agar program pengaman lapangan ini akan semakin berkualitas, terlebih dengan semakin dituntutnya profesional dari profesi guru. Kerja sama ini perlu difasilitasi oleh pihak Universitas untuk melakukan MoU dengan Dinas Pendidikan agar diakui oleh semua pihak bahwa PPL merupakan kegiatan yang dilakukan secara serius untuk memperoleh kualitas pima, yaitu meningkatkan calon guru yang profesional.

 

Simpulan dan saran :

Berdasarkan uraian dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

  1. Terlihat adanya kecenderungan bahwa pelaksanaan program pengalaman lapangan di FKIP belum sesuai dengan harapan institusi yaitu PPL dijadikan ajang pembelajaran, untuk menyiapkan guru yang profesional yang mampu merencanakan melaksanakan dan mengevaluasi proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Pembinaan yang diterima oleh mahasiswa selama PPL  baru bersifat pengawasan rutin,  dalam bidang administrasi pengajaran, serta menjalankan kebijakan yang diberikan oleh guru pamong saja.
  2. Belum berjalannya PPL seseuai dengan harapan juga disebabkan kurang seriusnya peran guru pamong dan dosen pembimbing dalam menangani pembinaan mahasiswa praktikan. Masih banyak guru pamong dan dosen pembimbing dalam menjalankan tugas sebatas malaksanakan tugas rutinnya saja. Guru pamong dan dosen pembimbing belum melakukan kegiatan nyata memberdayakan mahasiswa praktikan penilaian baru bersifat catatan rutin dalam buku supervisi kelas.
  3. Sebagian guru pamong dan dosen pembimbing mengaitkan ketidakseriusan dalam bekerja ini  dengan padatnya tugas mengajar  yang harus mereka lakukan dan belum tersedianya balas jasa yang memadai terhadap tugas yang mereka lakukan, padahal pembinaan mahasiswa praktikan merupakan tugas tambahan  dari institusi di luar tugas  pokok yang berkaitan dengan tugas masing-masing. Perlu difikirkan insentiv yang cukup memadai, sehingga UPT PPL dapat menuntut pelayanan  yang lebih baik pada saat guru pamong dan dosen pembimbing melakukan pembinaan tehadap mahasiswa praktikan.
  4. Dalam penelitian ini juga terungkap amat terbatasnya informasi mengenai program PPL yang sampai ke guru pamong dan dosen pembimbing,  sebagai pelaksana di lapangan dan begitu juga sebaliknya sehingga sering terjadi miss comunication  dan ini juga merupakan manivestasi dari lemahnya  kontrol atau penggawasan penyelenggaraan  terhadap pelaksanaannya PPL,  baik pada tingkat strategis maupun di tingkat pelaksanaan di lapangan.
  5. Meskipun persediaan sarana dan prasarana baik yang berupa Hardware dan Software, diperkirakan sebagai penyebab dari tidak berjalannya program PPL secara maksimal, tetapi berdasarkan observasi yang dominan sebagai penyebab tidak efisiennya program PPL lebih disebabkan pada kurangnya komitmen petugas. Selain factor personal upaya pembinaan juga disebabkan oleh fktor administrative dan factor manajerial.

 

Saran saran

Untuk meningkat penyelenggaraan dan kegiatan PPL agar kualitasnya lebih meningkat , perlu persaratan khusus untuk menjadi guru pamong, agar pembinaan terhadap mahasiswa menjadi lebih baik baik lagi, pembinaan tidak sekedar mengenai cara mengajar tapi lebih subtansial yaitu mengarah kepada kepada pemilikan kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh guru antara lain kompetensi akademik, kompetensi social dan kompetensi pribadi.

Perlu dikembangkan manajemen partisipatif, dalam system pembinaan professional mahasiswa praktikan, yang memberi kesempatan kepada seluruh individu yang terkait untuk menjalan kewajiban sesuai dengan  ketentuan dan memperoleh hak sesuai dengan kewajibannya.

Perlu dikembangkan micro teaching yang memiliki fasilitas yang memadai sebagai salah satu sumber belajar sebelum mahasiswa turun kelapangan sehingga mereka lebih siap.

 

Daftar Pustaka :

 

Abin Syamsudin Makmun (1992), Pengembangan Profesional Tenaga Kependidikan, IKIP Bandung.

 

Bredo A.E & Bredo E.R. (1975), Managing Change In Educational Organization,  McCuthan Publishhing Company, New York.

 

Gordon Thomas (terjemahan Mujito) (1984), Guru Yang Efektif cara untuk mengatasi kesulitan kelas, CV.Rajawali, Jakarrta.

 

Hoy Wayne K. dan Lecil Hiskel G. (1978) Educational Administration Theory, Research, and Practice, Randon House, New York.

 

John Wiles, Joseph Bondi (1986), Supervision, A Guide to Practice, Charles E.Herrt Publishing Company, Ohio.

 

Murriel Gerhard (1971), Effective Teaching Strate Giols With The Behavior Outcome Approach, Barka Publishing Loy Inc., New York.

 

Morrant R.W. (1981), In Service Education Wither The School, Geor Allen and Unwin, London.

 

Sergiovanni, Thomas J., & Robert J.Starrat (1971), Emerging Pattern of Supervision Human Prespective, Mc Graw – Hill Book Company, Ner York.

 

Sucipto (2002), Administrasi dan Profesi Tenaga Kependidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Biodata :         Mintarsih Danumihardja

Lahir di Jakarta, 28 April 1945.

Dosen Kopertis Wilayah IV Jabar, dpk FKIP Unswagarti Cirebon.

Sekretaris LPPM Unswagati Cirebon.

Memperoleh gelar Master Pendidikan di IKIP Bandung tahun 1999,

dan menyelesaikan gelar Doktor Kependidikan di UPI tahun 2003.

MENINGKATKAN PROFESIONAL GURU MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS DAN KARYA TULIS ILMIAH

MENINGKATKAN PROFESIONAL GURU MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS DAN KARYA TULIS ILMIAH

Mintarsih Danumihardja

AbstractTerjemahkan dari: Melayu

Ketikkan teks atau alamat situs web atau terjemahkan dokumen.

Batal

Simak

Baca secara fonetik

Classroom Action Research (CAR) is a trend that is being done by teachers in the context of how learning becomes more conducive. Conducive to learning if implemented by a professional teacher. The study is intended to act in a professional classroom teachers can determine the learning model and choose the appropriate method t standard competence and basic competences that they want to achieve.
Key words: Learning conducive, Professional, Basic Competence.

A. Latar Belakang

Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu atau kompetensi dasar  dapat tercapai.

Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian terapan. PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu sebagai penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya. Jadi PTK merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan peneliti. Sebagai peneliti sekali gus guru harus punya ketrampilan menyusun Karya Tulus ilmiah (KTI) karena hasil peneletian harus disusun berdasarkan kaidah yang sudah ditentukan adapun yang harus terpenuhi dalam penusunan karya tulis ilmiah adala sebagai berikut ;

  1. Asli, karya tulis yang dihasilkan harus merupakan produk asli guru dan sesuai dengan mata pelajaran yang diampu dan tempat bekerja
  2. Perlu, karya tulis yang dihasilkan guru harus dirasakan manfaatnya secara langsung oleh guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran,
  3. Ilmiah, karya tullis yang dihasilkan harus disusun secara ilmiah, sistematis, runtut dan memenuhi persyaratan penulisan karya ilmiah, dan
  4. Konsisten, karya tulis ilmiah yang dihasilkan harus memperlihatkan keajegan dan konsistensi pemikiran yang utuh, baik secara keseluruhan maupun hubungan antar bab bagian karya tulis yang disajikan.

Kriteria Penulisan Karya Tulis Ilmiah

1.Masalah pokok yang dijadikan dasar penulisan  menyangkut kegiatan pembelajaran  yang dilaksanakan guru sehari-hari.

2. Kajian pustaka/teori yang mendukung pemecahan masalah cukup memadai,

3.Metodologi dilakukan secara runtut dalam upaya pemecahan masalah tersebut,

  1. Tersedianya data dan fakta yang mendukung pembahasan masalah tersebut,
  2. Adanya alternatif pemecahan masalah yang dikemukakan sebagai solusi atas masalah yang dihadapi, dan
  3. Kesimpulan maupun rekomendasi yang dikemukakan berdasarkan analisis data terhadap upaya pemecahan masalah tersebut.

Dengan memahami cara cara penulisan karya tulis ilmiah diharakan dua kegiatan yaitu PTK dan KTI sekali gus akan mendorong guru mampu meningkatkan profesionalisme mereka  sehingga perbaikan kualitas pendidikan  pada satu saat nanti bisa terwujud. Pembahasan selanjutnya kita akan membicarakan apa itu Peneletian Tindakan Kelas.

PENGERTIAN

PENELITIAN Tindakan Kelas atau Classroom action research (CAR) adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Action research pada hakikatnya merupakan rangkaian “riset-tindakan-riset-tindakan- …”, yang dilakukan secara siklus, dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua di antaranya adalah individual action research dan collaborative action research (CAR). Jadi CAR bisa berarti dua hal, yaitu classroom action research dan collaborative action research; dua-duanya merujuk pada hal yang sama.

Pnelitian Tindakan Kelas termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif. Penelitian Tindakan atau Action research berbeda dengan penelitian formal, yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general). Action research lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun demikian hasil action research dapat saja diterapkan oleh orang lain yang mempunyai latar yang mirip dengan yang dimliki peneliti.

MENULIS KARYA ILMIAH BERDASAR KARAKTERISTIK KHUSUS PTK

PTK mempunyai karakteristik khusus yang berbeda dengan penelitian pada umumnya.

Penelitian reflektif dilakukan guru untuk perbaikan praktik mengajar: pengembangan sekolah, PBM, prestasi belajar, keahlian mengajar,  metode mengajar, & sejenisnya.

Dilakukan secara kolaboratif dg sesamanya

Menjembati kesenjangan teori dan praktik pendidikan: dirancang, dilakukan dikelas, dilaksanakan, dan dievaluasi  sendiri (guru) dg melibatkan siswa & guru lainnya.

Terkait dengan pelaksanaan PBM sehari-hari yang dialami guru.

Terkait dengan permasalahan sesungguhnya yg dihadapi guru di kelas.

Riset bersifat reflektif pertisipatif, kolaboratif, berulang secara spiral, bersifat kontekstual, untuk perbaikan PBM dan hasilnya (misalnya: nilai).

Tahapan/spiral itu meliputi: perencanaan, tindakan/aksi, melakukan observasi dan evaluasi proses+hasil tindakan, dan melakukan refleksi  —à perbaikan rencana tindakan yg akan datang, tindakan/aksi, melakukan observasi dan evaluasi proses+hasil tindakan, dan melakukan refleksi, …… dst.

PTK harus menghasilkan ke arah yang lebih baik, termasuk nilai hasil belajar siswa, jika tidak, PTK-nya yang salah atau dianggap gagal

 

Perbedaan antara penelitian formal dengan classroom action research disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 1. Perbedaan antara Penelitian Formal dengan Classroom Action Research

Penelitian Formal PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Dilakukan oleh orang lain Dilakukan oleh guru/dosen
Sampel harus representatif Kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan
Instrumen harus valid dan reliabel Instrumen yang valid dan reliabel tidak diperhatikan
Menuntut penggunaan analisis statistik Tidak diperlukan analisis statistik yang rumit
Mempersyaratkan hipotesis Tidak selalu menggunakan hipotesis
Mengembangkan teori Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung

B. Mengapa Penelitian Tindakan Kelas Penting ?

Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional seorang guru :

  1. PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakukan.apa yang dia dan muridnya
  2. PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi sebagai seorang praktis, yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi, namun juga sebagai peneniliti di bidangnya.
  3. Dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang di kelasnya.
  4. Pelaksanaan PTK tidak menggangu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.
  5. Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.
  6. Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatan mutu hasil instruksional; mengembangkan keterampilan guru; meningkatkan relevansi; meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.

C. Hakikat Penelitian Tindakan Kelas

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin Mc Taggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya.

PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya, sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot keilmiahannya.

Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK.

Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya (Elliot, 1982). Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta–pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Kemmis dan Taggart, 1988).

Menurut Carr dan Kemmis seperti yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah PTK adalah suatu bentuk refleksi diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa atau kepala sekolah) dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) praktik-praktik sosial atau pendidikan yang dilakukan dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktik-praktik ini, dan (c) situasi-situasi ( dan lembaga-lembaga ) tempat praktik-praktik tersebut dilaksanakan (Harjodipuro, 1997).

Lebih lanjut, dijelaskan oleh Harjodipuro bahwa PTK adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik tersebut dan agar mau utuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar, PTK mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara profesional.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dilakukannya PTK adalah dalam rangka guru bersedia untuk mengintropeksi, bercermin, merefleksi atau mengevalusi dirinya sendiri sehingga kemampuannya sebagai seorang guru/pengajar diharapkan cukup professional untuk selanjutnya, diharapkan dari peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas anak didiknya, baik dalam aspek penalaran; keterampilan, pengetahuan hubungan sosial maupun aspek-aspek lain yang bermanfaat bagi anak didik untuk menjadi dewasa.

Dengan dilaksanakannya PTK, berarti guru juga berkedudukan sebagai peneliti, yang senantiasa bersedia meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Upaya peningkatan kualitas tersebut diharapkan dilakukan secara sistematis, realities, dan rasional, yang disertai dengan meneliti semua “ aksinya di depan kelas sehingga gurulah yang tahu persis kekurangan-kekurangan dan kelebihannya. Apabila di dalam pelaksanaan “aksi” nya masih terdapat kekurangan, dia akan bersedia mengadakan perubahan sehingga di dalam kelas yang menjadi tanggungjawabnya tidak terjadi permasahan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada lagi permasalahan yang mengganjal di kelas.

MANFAAT PTK

Manfaat yang dapat dipetik jika guru mau dan mampu melaksanakan penelitian tindakan kelas itu terkait dengan komponen pembelajaran, antara lain:

(1)   inovasi pembelajaran,.

(2)   Pengembangan kurikulum di tingkat sekolah dan di tingkat kelas.

(3)   Peningkatan profesionalisme guru.

Adapun ciri-ciri penelitian tindakan dikemukan oleh Zainal Aqib (2007:18-19) sebagai berikut:

a)      Penelitian tindakan partisipatori (participatory action research) yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan menekankan keterlibatan anggota agar merasa ikut serta memiliki program kegiatan tersebut serta berniat ikut aktif memecahkan masalah berbasis umum.

b)      Penelitian tindakan kritis (critical action research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan menekankan adanya niat yang tinggi untuk memecahkan masalah dan menyempurnakan situasi

c)      Penelitian tindakan kelas (classroom action research), yaitu penelitian yang dilakukan oleh guru di kelas atau di sekolah tempat ia mengajar dengan penekanan pada penyempurnaan atau peningkatan proses dan praktik pembelajaran.

d)     Penelitian tindakan institusi (institutional action research), yaitu dilakukan oleh pihak pengelola sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan untuk meningkatkan kinerja, proses, dan produktivitas lembaga.

Upaya PTK diharapkan dapat menciptakan sebuah budaya belajar (learning culture) di kalangan guru-guru di sekolah. PTK menawarkan peluang sebagai strategi pengembangan kinerja, sebab pendekatan penelitian ini menempatkan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya sebagai peneliti, sebagai agen perubahan yang pola kerjanya bersifat kolaboratif (collaborative).
Guru yang profesional adalah guru yang memiliki sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. (UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 2).
Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Dengan demikian bahwa, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi di sini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial maupun akademis. Dengan perkataan lain bahwa guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.
Suatu pekerjaan profesional menurut Moh. Ali (Kunandar, 2007:47) memerlukan persyaratan khusus, yakni (1) menuntut adanya keterampilan berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam; (2) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya; (3) menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai; (4) adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya; (5) memungkinkan sejalan dengan dinamika kehidupan. Selain itu juga Moh. Uzer Usman (2005:85) menambahkan bahwa pekerjaan profesional dituntut: (1) memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; (2) memiliki klien/objek layanan yang tetap, seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya; (3) diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Selain itu juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru yang profesional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, mengendalikan dirinya, dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma agama dan moral.

D. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas

Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis PTK memiliki karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis penelitian yang lain, misalnya penelitian naturalistik, eksperimen survei, analisis isi, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan jenis penelitian yang lain PTK dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif dan eksperimen. PTK dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif karena pada saat data dianalisis digunakan pendekatan kualitatif, tanpa ada perhitungan statistik. Dikatakan sebagai penelitian eksperimen, karena penelitian ini diawali dengan perencanaan, adanya perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi terhadap hasil yang dicapai sesudah adanya perlakuan. Ditinjau dari karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1) didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.

Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut.

  1. Kritik Refeksi; salah satu langkah di dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.
  2. Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal, -maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut bersifat stabil.
  3. Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi dia juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan suatu proses dapat berlangsung.Kolaborasi dalam kesempatan ini ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator. Selanjutnya, sudut pandang ini dianggap sebagai andil yang sangat penting dalam upaya pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Untuk itu, peneliti akan bersikap bahwa tidak ada sudut pandang dari seseorang yang dapat digunakan untuk memahami sesuatu masalah secara tuntas dan mampu dibandingkan dengan sudut pandang yang berasal; dari berbagai pihak. Namun demikian memperoleh berbagai pandangan dari pada kolaborator, peneliti tetap sebagai figur yang memiliki ,kewenangan dan tanggung jawab untuk menentukan apakah sudut pandang dari kolaborator dipergunakan atau tidak. Oleh karenanya, sdapat dikatakan bahwa fungsi kolaborator hanyalah sebagai pembantu di dalam PTK ini, bukan sebagai yang begitu menentukan terhadap pelaksaanan dan berhasil tidaknya penelitian.
  4. Resiko; dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a) melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya menyebabkan pandangannya berubah.
  5. Susunan Jamak; pada umumnya penelitian kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif. Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh, seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar, situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan sebagainya.
  6. Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi. Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat digunakan dan dikembangkan bersama.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf keilmiahannya.

E. Jenis Penelitian Tindakan Kelas

Ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, 1990). Untuk lebih jelas, berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.

  1. PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
  2. PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh pada butir a di atas. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
  3. PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
  4. PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.

F. Model-model Penelitian Tindakan Kelas

Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya: (1) Model Kurt Lewin, (2) Model Kemmis dan Mc Taggart, (3) Model John Elliot, dan (4) Model Dave Ebbutt.

  1. Model Kurt Lewin; di depan sudah disebutnya bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan ( planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi : (1) Perencanaan (planning), (2) Pelaksanaan (implementing), dan (3) Penilaian (evaluating) (Ernest, 1996).
  2. Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini tampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Maksud disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya, yaitu seperti dikemukakan berikut ini.

 

 

SIKLUS PELAKSANAAN PTK

 

Gambar 4: Riset Aksi Model John Elliot

G. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas

Banyak model PTK yang dapat diadopsi dan diimplementasikan di dunia pendidikan. Namun secara singkat, pada dasarnya PTK terdiri dari 4 (empat) tahapan dasar yang saling terkait dan berkesinambungan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Namun sebelumnya, tahapan ini diawali oleh suatu Tahapan Pra PTK, yang meliputi:

  • Identifikasi masalah
  • Analisis masalah
  • Rumusan masalah
  • Rumusan hipotesis tindakan

Tahapan Pra PTK ini sangat esensial untuk dilaksanakan sebelum suatu rencana tindakan disusun. Tanpa tahapan ini suatu proses PTK akan kehilangan arah dan arti sebagai suatu penelitian ilmiah. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan guna menuntut pelaksanaan tahapan PTK adalah sebagai berikut ini.

  1. Apa yang memprihatinkan dalam proses pembelajaran?
  2. Mengapa hal itu terjadi dan apa sebabnya?
  3. Apa yang dapat dilakukan dan bagaimana caranya mengatasi keprihatinan tersebut?
  4. Bukti-bukti apa saja yang dapat dikumpulkan untuk membantu mencari fakta apa yang terjadi?
  5. Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti tersebut?

Jadi, tahapan pra PTK ini sesungguhnya suatu reflektif dari guru terhadap masalah yang ada dikelasnya. Masalah ini tentunya bukan bersifat individual pada salah seorang murid saja, namun lebih merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan lain-lain.

Berangkat dari hasil pelaksanaan tahapan Pra PTK inilah suatu rencana tindakan dibuat.

  1. Perencanaan Tindakan; berdasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan pada tahap pra PTK, rencana tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/ teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi/ evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini. Dalam tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. Dengan melakukan antisipasi lebih dari diharapkan pelaksanaan PTK dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan.
  2. Pelaksanaan Tindakan; tahap ini merupakan implementasi ( pelaksanaan) dari semua rencana yang telah dibuat. Tahap ini, yang berlangsung di dalam kelas, adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan guru tentu saja mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektifitas keterlibatan kolaborator sekedar untuk membantu si peneliti untuk dapat lebih mempertajam refleksi dan evaluasi yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi dikelasnya sendiri. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan.
  3. Pengamatan Tindakan; kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan hasil intruksional yang dikumpulkan dengan alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pada tahap ini perlu mempertimbangkan penggunaan beberapa jenis instrumen ukur penelitian guna kepentingan triangulasi data. Dalam melaksanakan observasi dan evaluasi, guru tidak harus bekerja sendiri. Dalam tahap observasi ini guru bisa dibantu oleh pengamat dari luar (sejawat atau pakar). Dengan kehadiran orang lain dalam penelitian ini, PTK yang dilaksanakan menjadi bersifat kolaboratif. Hanya saja pengamat luar tidak boleh terlibat terlalu dalam dan mengintervensi terhadap pengambilan keputusan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Terdapat empat metode observasi, yaitu : observasi terbuka; observasi terfokus; observasi terstruktur dan dan observasi sistematis. Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam observasi, diantaranya :(a) ada perencanaan antara dosen/guru dengan pengamat; (b) fokus observasi harus ditetapkan bersama; (c) dosen/guru dan pengamat membangun kriteria bersama; (d) pengamat memiliki keterampilan mengamati; dan (e) balikan hasil pengamatan diberikan dengan segera. Adapun keterampilan yang harus dimiliki pengamat diantaranya : (a) menghindari kecenderungan untuk membuat penafsiran; (b) adanya keterlibatan keterampilan antar pribadi; (c) merencanakan skedul aktifitas kelas; (d) umpan balik tidak lebih dari 24 jam; (d) catatan harus teliti dan sistemaris
  4. Refleksi Terhadap Tindakan; tahapan ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat saat dilakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan dan dicari eksplanasinya, dianalisis, dan disintesis. Dalam proses pengkajian data ini dimungkinkan untuk melibatkan orang luar sebagai kolaborator, seperti halnya pada saat observasi. Keterlebatan kolaborator sekedar untuk membantu peneliti untuk dapat lebih tajam melakukan refleksi dan evaluasi. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori instruksional yang dikuasai dan relevan dengan tindakan kelas yang dilaksanakan sebelumnya, menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang mantap dan sahih.Proses refleksi ini memegang peran yang sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan PTK. Dengan suatu refleksi yang tajam dan terpecaya akan didapat suatu masukan yang sangat berharga dan akurat bagi penentuan langkah tindakan selanjutnya. Refleksi yang tidak tajam akan memberikan umpan balik yang misleading dan bias, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan suatu PTK. Tentu saja kadar ketajaman proses refleksi ini ditentukan oleh kejataman dan keragaman instrumen observasi yang dipakai sebagai upaya triangulasi data. Observasi yang hanya mengunakan satu instrumen saja. Akan menghasilkan data yang miskin.Adapun untuk memudahkan dalam refleksi bisa juga dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tindakan dan ini dijadikan dasar perencanaan siiklus selanjutnya. Pelaksanaan refleksi diusahakan tidak boleh lebih dari 24 jam artinya begitu selesai observasi langsung diadakan refleksi bersama kolaborator.

Demikianlah, secara keseluruhan keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus. Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara bersinambungan seperti sebuah spiral.

Kapan siklus-siklus tersebut berakhir? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh si peneliti sendiri. Kalau dia sudah merasa puas terhadap hasil yang dicapai dalam suatu kegiatan PTK yang dia lakukan, maka dia akan mengakhiri siklus-siklus tersebut. Selanjutnya, dia akan melakukan satu identifikasi masalah lain dan kemudian diikuti oleh tahapan-tahapan PTK baru guna mencari solusi dari masalah tersebut.

 

 

 

v

Manajemen Keuangan

A. Pengertian Manajemen Keuangan

Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan  berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah.  Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.

Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban (Lipham, 1985; Keith, 1991)

Menurut Depdiknas (2000) bahwa manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan  Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah.

B. Tujuan Manajemen Keuangan Sekolah

Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah:

  1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah
  2. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah.
  3. Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

C. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan

Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.

1. Transparansi

Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.

2.  Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat

3.  Efektivitas

Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Garner(2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

4.  Efisiensi

Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by quantitative outputs” (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:

a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya:

Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.

Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien.

b. Dilihat dari segi hasil

Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.

Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:

 

Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.

Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

Sumber-sumber pembiayaan pendidikan (penerimaan):

1. Sumber Dari Pemerintah Pusat Dan Daerah

Berupa APBN dan APBD melalui DAU dan DAK, Dana BOS dan BlockGrant.

Sumber-sumber pendapatan dana:

a. Sumber daya alam

Eksplorasi/ tambang emas, minyak, gas, batu bara, hasil hutan, hasil kelautan,dll.

b. Hasil industry/ perusahaan

BUMN, BUMD, industry pariwisata,dll.

c. Pajak

Pajak bumi dan bangunan, kekayaan, penghasilan perorangan, pendapatan penjualan, kendaraan bermotor, dll.

Laporan Keuangan

Informasi yang paling penting dari penyajian akuntansi adalah laporan keuangan. Dari laporan keuangan, pihak pemakai laporan intern dan eksternal dapat mengetahui kedaan perusahaan. Laporan rugi laba perusahaan dapat dilihat pada laporan rugi laba, perkembangan modal dapat di lihat dari laporan perubahan modal. Kedaan harta, uang, dan modal perusahaan dapat dilihat pada neraca

.Laporan keuangan adalah suatu laporan yang mengikhtiarkan pendapatan dan biaya untuk satu periode tertentu

Laporan perubahan danal adalah suatu laporan yang mengikhtiarkan perubahan dana setelah melakukan kegiatan usaha selama satu periode
Neraca adalah suatu daftar yang berisi harta, uang, modal pada suatu saat tertentu dinyatakan dengan uang. Neraca dapat disusun dengan mengutip dari kertas kerja kolom neraca. Neraca dapat berbentuk skontro dan stafel

 

 

 

 

 

Daftar Rujukan

Campbell, Roald F., Edwin M.Bridges, dan Raphael O.Nystrand. 1983. Introduction to Educational Administration. 5th edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Manajemen Keuangan. Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Sekolah. Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama

Direktorat Pendidikan Dasar. 1995/1996. Pengelolaan Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar. Ditdikdasmen Depdikbud

Gorton, Richard A. & Schneider, Gail T. 1991. School-Based Leadership: Callenges and Opportunities. Dubuque, IA: Wm. C. Brown Publishers

Kadarman, A.M. dan Udaya, Jusuf. 1992. Pengantar Ilmu Manajemen: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah. Jakarta: CV Tamita Utama

Koontz, Harold dan O’Donnel, Cryill. 1984. Principles of Management: An Analysis of Managerial Functions. Third Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.

Manullang, M. 1990. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pemerintah Kota Malang. 2002. Kutipan Buku Pedoman Kerja dan Penekanan Tugas. Malang: Dinas Pendidikan Kota Malang

Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Supriadi, Dedi. 2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

 

 

 

menumbuh kembangkan 8 kebiasaan

peningkatan profesi

profesi tenaga kependidikan

jadi orang tua efektif

menyediakan waktu untuk anak

berkomunikasi secara pribadi

menghargai anak

mengerti  anak

menciptakan hubungan baik dalam keluarga

berikan sentuhan fisik dan ciuman tulus serta kontak mata

dengarkan pendapat anak

nara sedang sibuk

IMG_2431

« Older entries